Selasa, 01 Mei 2012

BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani oleh Bustanul Arifin

BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani oleh Bustanul Arifin

 KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Analisis Tentang BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani dengan baik Sebelumnya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen Pembimbing yang telah memberikan tugas ini dan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tugas ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Penulis menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang ada, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan analisis ini. Penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca analisis ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap semoga analisis ini bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

PEMBAHASAN

Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter. Pemerintah menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan tinggi. Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan. banyak bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif. empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus beras 10 juta ton.

DAMPAK KESEJAHTERAAN PETANI

 Ukuran yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura (turun 0,23 persen). kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran naik. sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari. 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak yang demikian masif. Rencana strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.

 PENUTUP KESIMPULAN

kalau impor beras 70.000 ton itu tidak akan membuat kiamat, tidak akan merusak citra Indonesia atau apa pun. Tapi dalam ekonomi pasar beras itu ada istilah asimetris atau tidak balance antara petani dan pedagang. Pedagang selalu di atas angin. Kita semua tahu, pedagang besar menekan tengkulak, dan kemudian tengkulak menekan petani. Oleh karena itu September 2005, ketika impor beras baru menjadi berita dan belum dilakukan, tengkulak sudah menekan harga petani. Nanti ada impor maka tengkulak mengancam tidak membeli gabah petani, maka harga beras turun Rp 100-200. Bagi petani Rp 100-200 cukup besar dan kalau kita berbicara nasional maka Rp 200 dikalikan jumlah gabah 54 juta ton maka jumlah uangnya bisa mencapai Rp 10 triliun. Dalam hal ini petani yang kita khawatirkan. Kalau sampai petani tidak semangat meningkatkan produksi dan produktivitasnya karena beras hanya dihargai sekian, maka petani akan berpikir untuk apa tanam padi lebih baik tanam yang lain dan itu tentunya bukan menanam ganja. Tapi intinya, kalau mereka sampai ada civil disopinion (penolakan dari masyarakat – Red), saya pikir pemerintah juga yang akan sulit. Ini tampaknya tidak masuk dalam perhitungan dalam mengambil keputusan kebijakan itu. satu entry point kecil saja yang pada intinya bagaimana meningkatkan kesejahteraan atau memberdayakan petani. Masih banyak entry point lagi karena sekarang kita hanya tinggal tagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena kalau dia ingat salah satu strateginya dari "Triple Tracks Startegy" adalah revitalisasi pertanian.

DAFTAR PUSTAKA http://nasional.kompas.com/read/2012/04/02/03422023/BBM.Ekspektasi.Inflasi.dan.Kesejahteraan.Petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar